DETIK SUMBA – Hak Asasi Manusia merupakan hal yang penting untuk ditegakkan karena keberadaannya memberikan jaminan prinsip kesetaraan bagi seluruh umat manusia. Untuk menguatkan perhatian dan dukungan terhadap tegaknya Hak Asasi Manusia adalah diterbitnya UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM dan Pembentukan UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Secara aturan, negara Indonesia mempunyai dasaran hukum tentang Hak Asasi Manusia yang terdefinisi dalam Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 ayat (1) UU No. 39/1999 tentang HAM dan UU Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM yang berbunyi: “Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahkluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Namun, dalam konteks implementasi, meskipun Indonesia telah meratifikasi dan memberlakukan instrumen HAM, permasalahan HAM masih tetap muncul.
Tepat pada September 2024, Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia Cabang Malang sanctus Augustinus menyoroti permasalahan HAM yang terjadi pada september orde baru sampai saat ini yang belum terselesaikan. September adalah bulan yang bersejarah, bulan yang penuh dengan cerita kelam yg menyakitkan bagi korban dan keluarga yang tertinggal. Masing-masing keluarga korban yg sampai saat ini masih mencari kebenaran akan kehilangan anak maupun keluarganya yang belum mendapatkan keadilan dari peristiwa tersebut. Cerita yang terjadi di bulan september disebut september hitam, September hitam adalah julukan yang diberikan oleh para pejuang pencari keadilan dalam rentetan pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di bulan september dalam sejarah bangsa indonesia. PMKRI cabang Malang menyoroti peristiwa pelanggaran HAM dan korban yang terjadi dibulan september antara lain: Tragedi 1965-1966, Tanjung Priok 1984, Semanggi ll 1999, Munir 2004, Salim Kancil 2015, Reformasi Dikorupsi 2019, Pendeta Yeremia 2020 dan Rempang 2023. Rentetan peristiwa kelam tersebut yang mengorbankan jutaan manusia tidak mendapatkan keadilan dalam hal Pengakuan oleh negara dalam menyelesaikannya.
Pada 11 januari 2023, presiden Jokowi menerima laporan dari Tim Penyelesaian Non Yudisal Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat dan mengumumkan bahwa hanya ada 12 kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia yang diakui. Daftar kasus september hitam yang tergolong dalam pelanggaran HAM berat yaitu peristiwa 1965-1966 dan Semanggi ll. UU Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM mengatakan bahwa pelanggaran ham berat terdiri dari kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Dari pengakuan tersebut secara langsung menganggap bahwa peristiwa-peristiwa lainnya adalah bukan pelanggaran HAM berat yang diatur dalam undang-undang tersebut. PMKRI Cabang Malang menilai Begitu menyakitkan pengakuan pemerintah atas pelanggaran ham berat yang melenceng dari peraturan tentang hak asasi manusia. Pemerintah harus menyelesaikan semua pelanggaran Hak Asasi Manusia secara berkeadilan dan berpatokan pada UU tentang Hak Asasi Manusia dalam menyelesaikannya.
Kekerasan dan peristiwa september hitam masa lalu seperti yang kita ketahui bukan hanya mengajarkan tentang bagaimana kita menanggapi dan membela para korban. September hitam mengingatkan kita bagaimana kebebasan berekspresi membunuh kita yang ingin berpendapat dimuka umum. Kekerasan pada masyarakat sipil dan aktivis yang menuntut keadilan telah menghancurkan apa yang diatur dalam Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Selain UU tersebut, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan International Covenant On Civil And Political Rights (kovenan Internasional Tentang Hak-hak Sipil Dan Politik) menyebutkan bahwa hak atas kebebasan berekspresi dan berpendapat mencakup hak setiap orang untuk berpendapat tanpa campur tangan pihak lain, hak setiap orang untuk menyatakan pendapat termasuk kebebasan untuk mencari, menerima, dan memberikan informasi dan pemikiran serta UU No 39 tahun 1999 dan UU No 26 tahun 2000