Opini  

Meski Tak Lebih Baik, Janganlah Wariskan Negeri Ini Dalam Keadaan Yang Rusak Parah Kepada Anak Cucu Kita

Oleh: Jacob Ereste, Meski Tak Lebih Baik, Janganlah Wariskan Negeri Ini Dalam Keadaan Yang Rusak Parah Kepada Anak Cucu Kita. (Detik Sumba/Jacob Ereste)

DETIK SUMBA – “Hidup hanya sekali berarti, setelah itu mati”, kata penyair Chairil Anwar. “Hidup dipenghujung hayat, tinggal memperindah batu nisan saja”, kata penyair lain yang mendapat kesempatan hidup lebih panjang usianya. Karena itu, ekspresi rasa syukur dia terus bergiat untuk berbuat yang terbaik guna genenasi anak dan cucunya.

Bagi dirinya sendiri, sesungguhnya semua sudah selesai. Karena itu diujung usia senjanya, dia hanya ingin membalas bonus yang dikirim dari langit, sebagai ungkapan terima kasih dan syukur yang tidak mungkin mampu dia rampungkan sampai ke liang lahat.

Disela renungan rindu dan kangen, ia menemukan hikmah cinta terhadap anak dan cucunya yang kini mulai membangun ladang penghidupan di seberang sana. Rindu dan kangen itu bagi dia bisa dipahami sungguh religius dan sakral, karena mampu menuntun jalan lurus spiritual yang semakin mengasyikkan dirinya. Kematian pun semakin dia pahami dengan keramahan dan keridhaan yang tidak mungkin pernah dinikmati oleh setiap orang. Itulah sebagian dari sejumlah rasa keberuntungan dirinya yang selalu disyukuri. Seperti sikap keperduliannya pada sesama manusia yang gigih mempertahankan nilai-nilai kemanusiaan dan martabat serta harga diri yang luhur sebagai bagian dari upaya menjaga otentisitas keillahian fitrah pemberian dari langit bersama segenap nikmat rachmatan lil alamin yang tiada batas dan tiada bertepi itu.

Baca Juga:  Atlet Tinju Peraih Medali PON 2024 Kecewa Terhadap Pemerintah SBD.

Karenanya, dalam usianya diujung senja sekarang tiada pernah hendak dia berpangku tangan dari kegaduhan jaman yang perlu ditertibkan. Apalagi sekedar untuk cari selamat bagi dirinya sendiri, hingga tak hirau untuk ikut menata bumi agar harmoni dan sinkron dengan derap awan di langit yang berarak-arakan.

Maka itu budaya feodal dan amtenar yang diwariskan keluarga dan tetangga dahulu telah dia kubur sejak masa sekolah rakyat. Ia melupakan tradisi kelangenan seperti memelihara perkutut di beranda rumah. Seakan-akan tak cukup banyak urusan penting yang perlu untuk diluruskan agar bencana masa depan yang telah lalai diperhutiungkan dapat dapat kembali dikaji ulang.

Baca Juga:  Danantara Seperti Menu Lezat Yang Tersaji Di Meja Makan Dijaga Oleh Tikus Got Atau Kucing Garong

Duduk manis di beranda rumah sambil meniknati masa jaya yang pernah dicapai dengan susah payah dahulu, sungguh baik tiada ada yang salah. Tapi nyinyir dan latah menyalahkan orang lain memilih untuk terus aktif dan berbuat atas dasar keyakinan yang baik dan benar, agaknya tak cukup bijak. Apalagi kemudian beranggapan terbaik pada pilihan sendiri sambil ceriwis untuk mencerca pilihan sikap orang lain, karena tidak senada atau bahkan tidak searah dengan sikap dan pilihan kita yang mungkin justru lebih puritan.