WhatsApp     Ikuti Detik Sumba di Saluran WhatsApp Channel   
  Follow

Manusia dan Lingkungan

Gambar Ilustrasi (Pixabay/@Nordseher/Detik Sumba)

Oleh: Viktor Yanus Lede, mahasiswa Ilmu Pertanian, Universitas Katolik Weetebula

 

DETIK SUMBA – Hubungan antara manusia dan lingkungan merupakan suatu hal yang tak terpisahkan dalam kehidupan sehari-hari. Keduanya saling bergantung dan memengaruhi, terutama dalam konteks pertanian. Lingkungan memberikan berbagai sumber daya alam yang dibutuhkan manusia untuk bercocok tanam, sementara manusia memiliki tanggung jawab untuk menjaga dan mengelola lingkungan tersebut secara berkelanjutan.

Dalam praktik pertanian, nilai-nilai budaya, tradisi, dan kepercayaan lokal sering kali membentuk cara masyarakat memperlakukan alam dan bagaimana mereka menanam, merawat, serta memanen hasil bumi.

Namun, tidak semua komunitas petani menjadikan tradisi atau budaya sebagai landasan dalam praktik bertani mereka. Hal ini terungkap dalam wawancara yang dilakukan bersama kelompok tani Suka Maju di salah satu desa.

Ketika ditanya mengenai sejauh mana tradisi, budaya, atau kepercayaan memengaruhi cara mereka bertani, salah seorang responden menyampaikan bahwa tidak ada tradisi, budaya, dan kepercayaan yang mempengaruhi cara bertani kelompok tani Suka Maju. Ketika terjadi gagal panen, kata dia, kami percaya itu terjadi karena kurangnya pemupukan, perawatan yang tidak intensif, dan juga kondisi iklim yang tidak mendukung pertumbuhan tanaman. Menurutnya, kami hanya percaya pada sang pencipta yaitu Tuhan yang maha kuasa.

Baca Juga:  Kodim 1613/Sumba Barat Gelar Patroli Ciptakan Kondisi Aman Menjelang Pilkada 2024

Pernyataan yang disampaikan mencerminkan cara pandang yang rasional dalam melihat keberhasilan maupun kegagalan panen. Alih-alih mengaitkannya dengan hal-hal mistis atau supranatural yang sering dijumpai dalam budaya pertanian tradisional, kelompok tani Suka Maju justru menilai hasil pertanian sebagai konsekuensi dari proses dan usaha yang dilakukan.

Mereka menyadari pentingnya perawatan tanaman, pemupukan yang memadai, serta memahami perubahan iklim sebagai faktor kunci yang menentukan keberhasilan tanaman. Meskipun tidak mengandalkan budaya atau kepercayaan lokal, para petani ini tetap memegang nilai spiritual yang tinggi, yakni keyakinan kepada Tuhan yang maha Kuasa.

Baca Juga:  Filosofi Periuk Tanah adalah Halusinasi Pemerintah yang Tidak Berdasar di Sumba Barat Daya

Ini menunjukkan bahwa dimensi religius masih menjadi bagian dari kehidupan bertani mereka, namun dalam bentuk yang lebih universal dan tidak terikat pada ritual tradisional. Keyakinan ini berfungsi sebagai landasan moral dan spiritual yang mendorong mereka untuk terus berusaha, bersyukur atas hasil yang diperoleh, dan tidak menyerah saat menghadapi kegagalan panen.

Dari hasil wawancara ini, terlihat bahwa kelompok tani Suka Maju mengedepankan pendekatan ilmiah dan empiris dalam aktivitas pertanian mereka. Hal ini sejalan dengan semangat pembangunan pertanian modern yang mendorong efisiensi, produktivitas, dan keberlanjutan. Namun, pendekatan ini tetap dibingkai dalam kesadaran spiritual yang memberikan makna mendalam terhadap setiap proses dan hasil yang mereka peroleh.

Dalam konteks yang lebih luas, pengalaman kelompok tani ini menggambarkan dinamika hubungan antara manusia dan lingkungan yang bersifat adaptif. Mereka tidak hanya bergantung pada alam, tetapi juga belajar darinya. Mereka mengamati perubahan musim, mengenali pola curah hujan, dan menyesuaikan teknik budidaya sesuai dengan kondisi yang ada.

Baca Juga:  Kasdim 1613/Sumba Barat Lepas Anggota Pindah Satuan, Berpesan Tetap Menjadi Prajurit Profesional

Hal ini menunjukkan bahwa meskipun tradisi dan budaya tidak lagi dominan, pengetahuan lokal yang berbasis pengalaman tetap menjadi kekuatan dalam menjalankan pertanian.

Kesimpulannya, hubungan antara manusia dan lingkungan dalam praktik bertani kelompok tani Suka Maju menunjukkan kecenderungan ke arah pemikiran rasional yang berbasis pengalaman dan ilmu pengetahuan.

Ketidakterlibatan budaya dan tradisi dalam cara mereka bertani bukanlah bentuk penolakan terhadap nilai-nilai lokal, melainkan bentuk adaptasi terhadap realitas yang mereka hadapi. Kepercayaan kepada Tuhan tetap menjadi pijakan spiritual yang memperkuat semangat kerja dan tanggung jawab terhadap lingkungan yang mereka kelola.***

Ikuti Berita Terbaru Kami di Detik Sumba dengan KLIK DI SINI.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan