DETIK SUMBA – Pembangunan daerah tidak boleh terus berlindung di balik alasan “tunggu APBN” atau “pinjaman daerah”. Kalau retribusi tidak cukup dan pajak tidak mampu menutup utang, maka siapa sebenarnya yang gagal bekerja? Eksekutif dan legislatif adalah dua sisi mata uang. Bupati dan DPRD bukan pemadam kebakaran yang muncul hanya saat mau pemilu. Mereka adalah arsitek kebijakan yang wajib memastikan uang rakyat kembali ke rakyat.
DPRD: Mandat Publik atau Mandat Poket?
DPRD punya tiga fungsi besar yaitu pembentukan Perda, anggaran, dan pengawasan. Di atas kertas, mereka tampak gagah. Tapi mari kita bedah satu per satu tanpa basa-basi.
Semua keputusan Bupati lahir dari regulasi yang dibangun dan disetujui bersama DPRD. Maka ketika muncul kebijakan yang merugikan masyarakat, jangan pura-pura lupa atau main cuci tangan. Itu produk bersama. Kalau busuk, ya busuk berjamaah.
Contoh kecil tapi telak: proyek lapen dengan batu 5/7 yang disebut fondasi tapi bukan batu gunung. Ini bukan sekadar salah teknis, ini pertanyaan moral. Siapa yang buat aturan main? Siapa yang tutup mata? Apa DPRD sudah berubah dari tangan rakyat menjadi tangan kontraktor?
Dana Aspirasi: Kenapa Selalu Jadi Hantu Tak Bertuan?
Mari bicara fakta kasar. Ada 30 anggota DPRD di Manggarai Timur. Setiap tahun mereka pegang dana aspirasi Rp1 miliar per orang. Artinya Rp30 miliar setiap tahun, dan itu bukan rahasia negara.
Kalau 30 miliar itu dibagi ke 12 kecamatan, maka tiap kecamatan seharusnya dapat Rp 2,5 miliar per tahun. Dalam lima tahun, itu menjadi Rp12,5 miliar per kecamatan. Dengan uang sebesar itu, jembatan reyot harusnya sudah berganti beton, sekolah rusak tinggal sejarah, jalan berlubang cukup jadi kenangan.
Tapi mana hasilnya?
Jangan-jangan yang tersisa hanya potongan “lowang kope” PPh, PPN, dan amplop berkedok reses. Kalau dana aspirasi ini benar-benar dijalankan sesuai juknis, Manggarai Timur sudah bisa berlari, bukan terus merangkak.
Fungsi Pengawasan: Mati Suri atau Sengaja Dimatikan?
Proyek air minum mangkrak. Infrastruktur banyak yang cacat. Pembangunan asal jadi. Semua ini mencerminkan fungsi pengawasan DPRD yang lemah atau dilumpuhkan. Pengawasan tidak cukup pakai kunjungan kerja dan foto-foto proyek. Kalau proyek bermasalah tapi tak pernah dibongkar, itu bukan kelalaian. Itu pembiaran.
2025 Saatnya Copot Baju Pudar dan Buang Pemiliknya
Kalau ada politisi yang hanya kuat karena uang, maka rakyat wajib tenggelamkan mereka di TPS. Bukan lagi waktunya bangga pada baju warna-warni tapi kerja nol. Lebih baik kembali ke warna lama yang tulus daripada warna baru yang cuma pandai mencuri start.
Manggarai Timur tidak butuh janji, tapi kerja nyata dari dana yang sudah nyata ada DANA POKIR dan DANA ASPIRASI. Kalau selama ini dana itu menguap tanpa jejak, maka 2025 harus jadi meja pengadilan rakyat.
Yang belum gentar melawan politik uang: inilah waktunya berdiri. Kalau tidak sekarang, kita akan terus ditipu oleh wajah lama yang gonta-ganti baju, tapi menghisap lewat jalur yang sama.
Pokir bukan pajangan. Aspirasi bukan celengan pribadi. Kalau diam, berarti ikut makan.***
Ikuti Berita Terbaru Kami di Detik Sumba dengan KLIK DI SINI. |