Inilah yang dilakukan elit politik daerah kita di atas jeritan dan persoalan rakyat yang mencekam. Yang tidak berkemampuan untuk mendapatkan keuntungan dalam struktur pemerintahan, Mengapa? karena setiap orang berusaha dan berebut posisi untuk mendapatkan peluang dan terkadang harus menggadaikan pikiran dengan ongkos untuk duduk di kursi empuk pemerintahan. Sungguh sangat bengis dan miris melacuri diri mereka dengan harta dan tahta.
Persaingan pula menjadi sangat ketat, yang memiliki modal dan pengaruh besar dekat dengan pejabat akan mendapatkan posisi strategis tetapi jika yang modalnya kecil dan tidak kuat dalam sistem loby akan mendapatkan posisi non strategis bahkan akan di singkirkan dalam kompetisi memperebutkan jabatan. Hukum tawar menawar jabatan seperti ini sangat lekat dalam sistem pemerintahan kita sebagai daerah otonomi baru (Desentralisasi).
Ketimpangan Sosial Yang Terjadi
Jika hal ini terus dibiarkan dan turun temurun maka akan terjadi demoralisasi dalam sistem demokrasi lokal kita bahkan akan terjadi krisis politik. Karenanya, antara elit politik yang duduk di legislatif dan eksekutif akan melakukan kompromi untuk terhindar dari jeratan masalah bahkan juga akan saling menuding dan saling melempar bola atas masalah rakyat yang sedang dihadapi misalnya menyoal pertumbuhan ekonomi, KKN, infrastruktur dan pembangunan daerah itu sendiri.
Sirkulasi permainan elit lokal ini sangat membingungkan untuk orang-orang yang tidak memahami konstalasi dalam kekuasaan mulai dari kompromi, loby politik hingga pembagian kue kekuasaan dengan demikian modal politik yang di keluarkan pada saat menjelang kampanye akan berbanding sama dengan posisi jabatan yang mereka dapatkan dalam kekuasaan. Sementara yang tidak punya modal lebih akan menjadi guling tikar, Jika berpolitik adalah panggilan nurani dan pengabdian kepada masyarakat pasti akan banyak menyentuh dari pada kepentingan masyarakat luas itu sendiri tapi faktanya kinerja nihil.
Proses perjalanan politik dan demokrasi sebagaimana yang sedang berlangsung menunjukkan bahwa sedang terjadi krisis dan kelambatan pertumbuhan politik sehingga hal tersebut rentan terjadi monopoli politik dan daerah otonomi baru yang seharusnya sebagai percepatan pertumbuhan di segala sektor kini harus pupus harapan dan cita-cita masyarakat. Monopoli politik akan terus turun-temurun jika sistem yang berlaku masih tetap sama, sehingga potensi-potensi yang di miliki oleh masyarakat tidak di perhatikan dan diabaikan.
Dalam setiap konstalasi politik pun modal yang di gelontorkan selama proses kampanye dan janji politik akan di kembalikan guna menutup utang yang telah di pinjam sehingga hal ini lekat dengan perilaku korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Tak bisa di pungkiri juga bahwa mereka akan bermain mata dengan investor sebagai modal kampanye sehingga dalam kekuasaan pemerintahan maupun di legislatif itu sendiri tidak lagi mengabdi untuk kepentingan masyarakat tetapi bermain mata pada pemilik modal (investor).
Untuk mendapatkan sesuatu elit politik tidak akan segan-segan melacuri diri mereka. Berangkat dari sinilah penderitaan dan kekecewaan politik akan mulai tumbuh, hal ini akan berdampak pada pembangkangan rakyat atau anggota partai politik yang tidak mendapatkan jabatan akibat monopoli politik tersebut. Kekecewaan ini akan terus tumbuh dan berkembang hingga pada potensi ledakan kemarahan akibat buruknya tujuan demokrasi dari pada masa depan rakyat itu sendiri, Protes sosial yang posisinya berhadap-hadapan dengan para pemangku kebijakan dan elit politik akan menambah krisis politik dan demokrasi bahkan berdampak dengan kondisi ekonomi akibat kebijakan yang tidak pro terhadap rakyat.
Sudah seharusnya ke depan masyarakat mengambil sikap dan jalan alternatif dalam memilih pemimpin yang bijaksana dan amanah dalam rangka mewujudkan nawacita dan harapan masyarakat yang mengendap sehingga di perlukan program pencapaian yang lebih besar. Sehingga masyarakat dapat tercerahkan, tersadar untuk menemukan kembali tawa yang telah lama hilang.
Sudah cukup kita membuktikan dalam nyata akan partisipasi aktif masyarakat mengawal pesta demokrasi yang demokratis, berharap ada harapan dan niatan baik. Seharusnya sebagai wakil rakyat harus mampu mempertahankan hak-hak rakyat sebagaimana komitmen pada saat menjelang kampanye bukan malah mereka sendiri yang merampas dan menenggelamkan harapan itu, betapa luar biasa dan berprestasinya politisi kita hari ini.
Rakyat yang tidak tahu-menahu akan selalu menjadi korban dan sasaran tembak para penguasa di daerah kita dalam memutuskan sebuah kebijakan. Sikap pragmatisme yang menggerogoti politisi seakan sudah membudaya dalam lingkaran kekuasaan itu sendiri.
Kita butuh alternatif baru, partai politik yang berani dan wakil rakyat yang betul-betul memahami kondisi masyarakat.***
Oleh: Rasmin Jaya Ketua DPC GMNI Kendari