DETIK SUMBA – Sengit! Sidang uji materi Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers di Mahkamah Konstitusi (MK) berubah menjadi ajang adu argumen keras antara Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Ikatan Wartawan Hukum (Iwakum).
DPR dengan tegas menolak tudingan Iwakum bahwa Pasal 8 UU Pers multitafsir dan lemah dalam memberikan perlindungan hukum bagi wartawan. Namun di balik penolakan itu, muncul kritik pedas: DPR dinilai menutup mata terhadap kenyataan pahit wartawan yang kerap dikriminalisasi saat menjalankan tugas jurnalistik.
DPR Tegas: Wartawan Tak Punya Imunitas!
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi NasDem, Rudianto Lallo, menyatakan Pasal 8 UU Pers sudah cukup memberikan perlindungan hukum bagi wartawan. Menurutnya, ketentuan itu tidak boleh dimaknai sebagai bentuk “imunitas hukum”.
“Pasal 8 bukanlah imunitas, melainkan jaminan perlindungan bagi wartawan dalam menjalankan profesi, fungsi, dan perannya,” kata Rudianto dalam sidang di MK, Rabu (29/10).
Ia menegaskan, wartawan tetap tunduk pada hukum, sebagaimana warga negara lain. “Prinsip dasar negara hukum tetap berlaku bagi semua, termasuk wartawan,” ujarnya.
DPR bahkan meminta Mahkamah Konstitusi menolak seluruh permohonan uji materi Iwakum dan menegaskan kembali kekuatan hukum Pasal 8 UU Pers.
Iwakum Balas: DPR Cuma Bicara di Atas Kertas!
Namun pernyataan DPR langsung dibalas keras oleh Ketua Umum Iwakum, Irfan Kamil. Ia menilai sikap DPR dan Dewan Pers justru menunjukkan arogansi dan ketidakpahaman terhadap persoalan nyata di lapangan.
“DPR hanya menjelaskan sejarah pembentukan UU Pers, bukan solusi konkret. Mereka bicara di atas kertas, sementara wartawan di bawah terus diteror pasal-pasal pidana,” tegas Irfan.
Ia menyebut, frasa ‘jaminan perlindungan hukum dari pemerintah dan masyarakat’ dalam Pasal 8 sangat kabur dan tanpa mekanisme jelas.
“Kalimatnya kabur! Siapa yang memberi perlindungan? Prosedurnya bagaimana? Bentuknya apa? Ini yang bikin wartawan rentan dikriminalisasi,” ujarnya.
Ketua MK Ikut Menyentil: Ada yang Aneh dalam Norma UU Pers
Menariknya, dalam sidang itu, **Ketua MK Suhartoyo** juga melontarkan pertanyaan tajam yang memperkuat dugaan adanya kelemahan norma.
Ia mempertanyakan, mengapa perlindungan wartawan masih harus diamankan melalui nota kesepahaman antara Dewan Pers dan aparat penegak hukum, jika norma UU sudah cukup jelas.
“Pertanyaan itu jelas menggambarkan MK sendiri melihat adanya ketidakpastian dalam norma Pasal 8,” sindir Irfan menirukan pertanyaan hakim MK.
Kuasa Hukum Iwakum: Dewan Pers dan PWI Salah Kaprah!
Sementara Viktor Santoso Tandiasa, Koordinator Kuasa Hukum Iwakum, menilai perlawanan dari Dewan Pers, AJI, dan PWI justru keliru.
“Lucunya, lembaga-lembaga yang seharusnya membela wartawan malah menolak upaya kami memperjelas norma hukum. Kami bukan ingin melemahkan UU Pers, justru memperkuat perlindungan bagi wartawan yang kerap jadi korban kriminalisasi,” tegas Viktor.
Iwakum menilai DPR dan lembaga pers arus utama menutupi fakta bahwa banyak wartawan masih dijerat KUHP meski UU Pers sudah berlaku lebih dari dua dekade.
Ironi di Balik Kebebasan Pers
Di atas kertas, kebebasan pers dijamin UUD 1945. Namun, di lapangan, wartawan masih dibungkam laporan polisi, ancaman pasal karet, hingga intimidasi.
“Selama perlindungan hukum hanya sebatas jargon, profesi wartawan tetap jadi pekerjaan berisiko tinggi,” ujar Irfan menutup pernyataannya.
Uji materi Pasal 8 UU Pers ini menjadi pertaruhan besar masa depan kebebasan pers di Indonesia. Akankah MK berani mempertegas norma, atau kembali menegaskan status quo yang selama ini justru menjerat para pemburu kebenaran di balik jeruji hukum?.***
| Ikuti Berita Terbaru Kami di Detik Sumba dengan KLIK DI SINI. |












