Detiksumba.com – Isu dugaan praktik “beli darah” yang terjadi di Palang Merah Indonesia (PMI) cabang Manggarai Timur memicu polemik di tengah masyarakat. Munculnya pernyataan Direktur RSUD Borong, Dokter Kresensia Nensi, yang menyebut bahwa pihak rumah sakit harus membeli darah dari PMI seharga sekitar Rp 400 ribu per kantong, menjadi pemantik kontroversi.
Dalam sebuah wawancara dengan Media Jajak.net, Kamis (27/3), Nensi menjelaskan bahwa mekanisme pengadaan darah saat ini mirip dengan pengadaan obat. Karena rumah sakit belum memiliki unit penyimpanan darah, maka darah harus “dipesan” ke PMI jika stok di RSUD kosong.
“Kalau tidak ada di kami, berarti beli ke luar. Ya, itu belinya ke PMI,” tegasnya.
Pernyataan ini langsung memicu reaksi keras dari masyarakat. Warga mempertanyakan transparansi pengelolaan dana hibah ratusan juta rupiah yang diterima PMI Manggarai Timur dari APBD setiap tahunnya. Mereka pun mendesak agar DPRD segera membentuk Panitia Khusus (Pansus) guna mengusut persoalan ini.
DPRD Didesak Bentuk Pansus
Sarlenso, seorang warga Elar, dengan tegas menyatakan bahwa praktik yang terjadi di PMI Manggarai Timur adalah bentuk ketidakadilan bagi masyarakat.
“DPRD harus segera bertindak! PMI setiap tahun mendapat dana hibah besar dari APBD, tapi kenapa darah tetap diperjualbelikan? Ini sudah keterlaluan!” ujarnya geram.
Ia juga menyoroti pernyataan Dokter Nensi yang kemudian mengklarifikasi bahwa pembayaran tersebut bukan “beli darah” melainkan biaya pengelolaan. Menurutnya, apapun istilah yang digunakan, fenomena mengganti barang dengan uang tetaplah berarti membeli.
PMI Membela Diri
Menanggapi isu ini, Alfred Turname dari PMI Manggarai Timur membantah adanya praktik jual beli darah. Ia menegaskan bahwa PMI adalah organisasi kemanusiaan yang tidak mencari keuntungan.
“Darah tidak boleh diperjualbelikan. Itu melanggar hukum dan hak asasi manusia,” tulis Alfred dalam opininya yang dimuat di Detakterkini.com, Kamis (27/3).