Filosofi Periuk Tanah adalah Halusinasi Pemerintah yang Tidak Berdasar di Sumba Barat Daya

DETIK SUMBA – Patung Tiga Tungku yang dibangun dengan anggaran sebesar Rp7 miliar hingga kini belum rampung. Proyek yang digaungkan dengan filosofi mendalam itu justru tidak menyentuh realitas yang terjadi di tengah masyarakat. Periuk tanah yang disusun di atas tiga tungku, yang katanya melambangkan wadah penampung aspirasi masyarakat justru menjadi simbol halusinasi Pemerintah Kabupaten Sumba Barat Daya (SBD).
Bagaimana tidak? Aspirasi seperti apa yang dimaksud oleh pemerintah? Bagian mana dari suara masyarakat yang benar-benar didengar dan direspon? Sampai hari ini, suara-suara masyarakat Sumba Barat Daya masih terabaikan. Pemerintah seperti hidup dalam dunia simbolik yang tidak berpijak pada kenyataan.
Saya, Dominggus Ghoghi, sebagai aktivis Gerakan Kemasyarakatan (Germas) Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Cabang Tambolaka St. Agustinus, menilai pernyataan Kepala Dinas PUPR SBD, Wilhelmus Woda Lado, tidak relevan dengan kondisi faktual masyarakat.
Realita yang kami lihat hari ini adalah masyarakat Sumba Barat Daya masih terjebak dalam berbagai persoalan mendasar, sebagai berikut:
1. Upah buruh yang belum sesuai dengan UMP,
2. Harga komoditas pertanian yang tidak stabil karena belum ada penetapan yang jelas,
3. Wabah virus babi yang terus menelan kerugian namun belum ditemukan penanganan yang efektif,
4. Jumlah pengangguran yang terus meningkat,
5. Belum adanya lokasi penambangan pasir yang legal dan jelas secara regulasi.
Ini semua adalah bentuk-bentuk aspirasi nyata masyarakat. Tapi sayangnya, hingga kini belum mampu dijawab oleh pemerintah. Di tengah segala penderitaan dan kebutuhan yang mendesak, pemerintah malah membangun sebuah patung yang maknanya justru terasa mengolok kenyataan hidup rakyat.
Masyarakat Sumba Barat Daya tidak hidup dalam kemewahan meskipun dihiasi dengan berlian. Mereka hidup dari hasil tani, dari babi yang dipelihara dan dijual demi menutupi kebutuhan sehari-hari. Mereka menghidupi keluarga dari upah yang masih jauh dari layak.
Kemudian, Kampus-kampus di SBD terus melahirkan lulusan-lulusan potensial, tapi sayangnya, mereka justru menyumbang angka pengangguran baru karena tidak ada lapangan pekerjaan yang disiapkan. Dari periode kepemimpinan sebelumnya hingga kini, belum ada solusi konkret yang disiapkan untuk menekan angka pengangguran.
Lokasi penambangan pasir yang legal belum juga tersedia. Peraturan daerah (Perda) yang seharusnya mengatur hal itu pun tak kunjung dibuat. Masyarakat masih hidup dalam penantian yang tak kunjung ada jawabannya.
Sebelum berbicara tentang periuk tanah sebagai penampung aspirasi, kami bertanya terlebih dahulu. Apa dasar, kajian, dan teori yang digunakan sehingga DPRD juga Dinas PUPR memutuskan membangun patung tersebut? Karena jika tidak ada analisis sosial yang kuat, maka proyek ini hanya akan menjadi sia-sia.
Filosofi dan patung bukanlah alat ukur keberhasilan dalam menanggapi aspirasi rakyat. Aspirasi akan terjawab jika pemerintah benar-benar melihat kebutuhan masyarakat secara jujur dan mendalam, melihat dengan “mata batin”, bukan hanya mata proyek.
Masyarakat hari ini menderita karena harga komoditas tak menentu, wabah babi, pengangguran, tidak adanya tambang pasir legal, serta upah buruh yang minim. Namun semuanya itu masih luput dari perhatian serius pemerintah. Membangun patung dengan filosofi yang tidak berpijak pada realita hanyalah halusinasi yang sia-sia.
Selain saya mengkritik, saya juga memberikan solusi yang Dapat Ditempuh Pemerintah Sumba Barat Daya.
1. Tetapkan Upah Minimum Daerah yang Layak dan Tegakkan Pengawasannya
Pemerintah perlu segera memastikan bahwa upah buruh sesuai dengan Upah Minimum Provinsi (UMP) dan membuat satuan pengawasan ketenagakerjaan di kabupaten untuk menindak pelanggaran.
2. Bentuk Tim Stabilitas Harga Komoditas Daerah
Tim ini bertugas menetapkan harga dasar hasil pertanian dan peternakan untuk menjamin petani dan peternak tidak merugi. Harga ditentukan berdasarkan musim, hasil panen, dan akses pasar.
3. Tangani Wabah Babi Secara Serius
Pemerintah harus bekerja sama dengan dinas peternakan provinsi dan lembaga riset untuk melakukan vaksinasi, sosialisasi pencegahan, serta pengendalian distribusi hewan ternak yang sakit.
4. Buka Lapangan Kerja Berbasis Potensi Lokal
Pemerintah dapat membuka program padat karya berbasis desa, memberikan pelatihan kewirausahaan, dan mendorong investasi UMKM berbasis pertanian, peternakan, dan pariwisata lokal.
5. Legalkan Lokasi Tambang Pasir dan Buat Perda-nya
Pemerintah wajib segera menyediakan lokasi legal untuk penambangan pasir dan membuat Perda yang mengatur teknis pengambilan, retribusi, dan pelestariannya agar warga tidak dipidanakan hanya karena mengambil pasir untuk bangunan rumahnya.
6. Tunda Proyek Simbolik yang Tidak Mendesak
Dana miliaran untuk patung bisa dialihkan sementara ke program-program riil yang lebih menyentuh masyarakat, seperti bantuan modal usaha tani, ternak, dan pelatihan kerja bagi lulusan perguruan tinggi dan sebagainya.
Aspirasi bukan untuk dipatungkan, tetapi untuk diperjuangkan. Patung tiga tungku itu akan tinggal jadi monumen kosong, jika pemerintah gagal memahami rasa lapar di dapur rakyat. Aspirasi tidak berada di atas periuk tanah, tetapi ada dalam tangisan, harapan, dan peluh masyarakat yang selama ini belum dijawab.***
Penulis: Dominggus Ghoghi, Germas PMKRI Cabang Tambolaka St. Agustinus
Anak Muda Sumba Unjuk Gigi di “Sumba Ecobiz Challenge 2025”!
Ikuti Berita Terbaru Kami di Detik Sumba dengan KLIK DI SINI. |
Penulis: Ming Ghoghi
Editor: Hans Wea