Opini

Catatan Dari Jerman: Peran Kemanusiaan Gereja, Budaya Hingga Politik Tanpa Drama

×

Catatan Dari Jerman: Peran Kemanusiaan Gereja, Budaya Hingga Politik Tanpa Drama

Sebarkan artikel ini
Catatan Dari Jerman, Peran Kemanusiaan, Gereja, Budaya, Politik , Tanpa Drama
Catatan Dari Jerman: Peran Kemanusiaan Gereja, Budaya Hingga Politik Tanpa Drama. oleh Fr. Martinus Dendo Ngara, CSsR. Mahasiswa Fakultas Teologi Wedabhakti Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. (Detik Sumba/Dok. Fr Martinus)

DETIK SUMBA Tulisan ini berangkat dari pengalaman kami sebagai komunitas Studentat Redemptoris Indonesia Yogyakarta yang mengambil waktu liburan akhir semester di Jerman. Kami yang berlibur ke Jerman terdiri atas 10 orang. Sembilan Frater CSsR, didampingi satu Imam sekaligus Rektor kami, Pater Redemtus Jawa, CSsR. Perjalanan dari Indonesia ke Jerman kami tempuh sekitar 13 jam. Sebuah perjalanan yang melelahkan. Namun, kelelahan itu hilang dalam sekejap ketika kami tiba di Jerman.  Bagaimana tidak? Sebab fenomena unik langsung menyambut kami yang sebelumnya pernah menginjakkan kaki di Eropa. Salah satu fenomena unik yang  langsung kami saksikan adalah stir mobil yang ada di kiri dan jalan dilalui kendaraan atau pun perjalanan kaki serta mereka yang bersepeda berjalan di lajur kanan. Berbalik dengan kondisi lalu lintas di Indonesia justru kebalikan adanya.

Di Jerman, kami bersepuluh tinggal di rumah komunitas Redemptoris yang berada di Jugend Kloster. Rumah ini dihuni oleh imam dan awam yang berasal dari berbagai negara. Ada dari Indonesia, Afrika, Kirgistan, dan tentu juga Jerman. Dari Indonesia ada tiga orang pastor Redemptoris yang berkarya di tempat ini dan lima awam yang bekerja sebagai volunter sekaligus melakukan program Ausbildung (di Indonesi dikenal sebagai sekolah kejuruan). Lalu ada seorang volunter dari Kirgistan, dua dari Afrika, dan lima orang asli Jerman.

Ada banyak pengalaman menarik yang kami lewati bersama selama kurang lebih 12 hari liburan di Jerman. Beberapa hal tersebut akan terangkum dalam tulisan ini. Terutama pengalaman kami sebagai biarawan melihat kondisi gereja, budaya, dan politik di Jerman. Pengalaman itu kami dapatkan ketika sedang mengikuti seminar politik bersama seorang mantan DPR provinsi Jerman yang telah menjalankan tugasnya selama 16 tahun di pemerintahan dan juga penjelasan dari wakil Wali Kota Bottrop. Hal ini menjadi kesempatan bagi kami para frater-frater bersama pater rector untuk bertanya dan menimba informasi seputar situasi politik, budaya dan Gereja Katolik di Jerman.

Baca Juga:  Kebijaksanaan dalam Pilkada Kabupaten Sumba Barat Daya: Memilih Masa Depan dengan Cerdas

Banyak pertanyaan yang muncul dari kami diantaranya: mengapa rumah orang Jerman hanya memiliki satu pintu masuk? Ternyata ini ada kaitannya dengan privasi. Rumah bagi orang Jerman adalah hal yang sangat privat sehingga tidak mengherankan jika rata-rata rumah orang jerman hanya memiliki satu pintu masuk. Lalu mengapa orang Jerman tertarik belajar teologi padahal Gereja Katolik semakin menurun di negara ini? Hal ini pun dipaparkan oleh mantan DPR Provinsi Jerman yang akrab disapa Dieter. “Orang Jerman tertarik belajar Teologi karena mereka bisa berpeluang untuk mengajar di sekolah atau kampus-kampus. Tak hanya itu, mereka juga biasanya bekerja di kantor-kantor paroki dan kemudian menjadi pendamping pastoral bagi umat di sebuah paroki,” terang Dieter.

Pertanyaan selanjutnya adalah tentang hal apa yang mempengaruhi mereka akhir-akhir ini umat katolik di Jerman jauh dari Gereja? Dari hasil pemaparan Prof. Dr. Dieter mengatakan bahwa umat Katolik saat ini tidak mau lagi kontak dengan Gereja. Mereka tidak mau lagi mengenal Tuhan Yesus. Alasannya adalah karena mereka resah dan kecewa dengan Gereja Katolik. Mereka melihat bahwa ada skandal dalam tubuh Gereja sendiri. Gereja sebagai institusi belum memiliki tindakan tegas dari dalam dirinya sendiri terhadap mereka yang melakukan skandal. Alasan lainnya juga adalah karena perkara bayar bajak. Di Jerman mereka  yang beragama atau yang memiliki kepercayaan tertentu harus membayar bajak dan bajak orang Jerman yang tidak mau lagi membayar pajak.

Hal selanjutnya yang menjadi pertanyaan kami adalah soal kondisi politik di Jerman, terutama di Kota Bottrop di mana kami tinggal saat berkunjung di Jerman. Wakil Wali Kota Bottrop Klaus Strehl, memaparkan soal kondisi politik di Kota Bottrop. Beliau mengatakan bahwa semua partai dalam pemerintahan di kota Bottrop dan sekitarnya selalu akur dan mudah untuk membangun kerja sama. Lalu, apa yang menjadikan mereka mudah untuk menjalankan kerjasama yang baik dalam membangun daerah mereka? “Kunci akur dari semua DPR adalah punya visi dan misi yang sama,” katanya. Menurut Wakil Wali Kota Bottrop, semua partai yang ada dalam parlemen harus melihat masalah yang terjadi dalam masyarakat dan sekaligus sama-sama mencari solusi yang bisa menyelesaikan persoalan dalam masyarakat. “Persaingan tetap ada, tetapi kalau sudah terpilih sebagai bagian dari anggota partai semua persaingan itu akan dilewat begitu saja dan tidak ada drama yang berkepanjangan,” tambahnya.

Baca Juga:  Momentum Natal, Saatnya Bersatu dan Menyudahi Dinamika Politik yang Berlalu

Seperti yang dikutip dari World Populatio Review, penduduk kota berada di angka 116.724 jiwa dan yang mengurus sekian banyak orang ini di pemerintahan adalah 56 orang sebagai anggota partai (dari beberapa partai dan partai terbesar di antara semua partai adalah partai demokrat).Hal yang menarik dan mungkin belum ada di Indonesia adalah adanya partai yang memberikan perhatian khusus pada lingkungan. Dalam kepengurusan DPR kota Bottrop, ada delapan anggota, sebagaimana yang disampaikan oleh Wakil Wali Kota Bottrop. Mereka dikenal sebagai anggota partai hijau (Grün). “Kerja sama antara partai di sini sangat bagus,” tegas Klaus Strehl.

Setelah sedikit mengetahui kondisi politik di salah satu kota di Jerman, yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah soal korupsi di Jerman. Apakah juga semasiv di Indonesia? “Di Jerman korupsi tidak menjadi masalah yang besar. Ada juga yang korupsi tetapi jumlahnya sedikit. Pengaturan administrasi keuangan di sini sangat jelas dan tidak gampang bagi mereka yang ingin korupsi,” jelas Prof. Dr. Dieter. Peran gereja di Jerman ternyata juga dipisahkan dalam pemerintahan. Wakil Wali Kota Bottrop mengatakan bahwa hubungan gereja dan pemerintah di Jerman terpisah. Artinya urusan pemerintahan tidak melibatkan agama dan demikian pun sebaliknya. Namun, yang menjadi persoalan adalah ketika negara membahas tentang hak asasi manusia. Seringkali agama diberi peranan besar pada bagian ini.

Lalu, bagaimana kondisi politik partai sayap kiri dan kanan di era sekarang? Apakah sepanas kondisi politik di era Jerman Barat dan Timur? (pertanyaan ini muncul karena dalam penjelasan dari Klaus Strehl menyinggung soal itu) Klaus Strehl mengatakan bahwa itu hanya tradisi yang diwariskan. Dulu orang duduk di sebelah kiri adalah orang yang kontra dengan pemerintah sementara yang duduk di sebelah kanan adalah yang pro dengan pemerintah.

Baca Juga:  Danantara Seperti Menu Lezat Yang Tersaji Di Meja Makan Dijaga Oleh Tikus Got Atau Kucing Garong

Hal menarik yang terakhir kami tanyakan adalah model kampanye ketika pemilu di Jerman. Di Indonesia biasanya ketika musim kampanye, dimana-mana akan terpasang bendera partai atau poster calon kandidat pemilu. Di Jerman, apakah hal yang sama juga terjadi? “Biasanya,” jawab singkat Klaus Strehl. “Tidak ada drama besar besaran ketika mau pemilihan pemimpin. Memang ada juga poster yang ditempel sebagai alat bantu memperkenalkan kandidat yang akan dipilih. Namun, jangan bermimpi bahwa anda akan menemukan orang yang berkampanye,” pungkasnya.

Dari seluruh pengalaman yang kami peroleh selama berkunjung ke Jerman, kami belajar bahwa perbedaan budaya, politik, dan kehidupan mengereja bukanlah sekadar fakta yang dilihat, tetapi pelajaran hidup yang dirasa penting bagi kami para calon imam asal Indonesia. Masyarakat Jerman mengajarkan bahwa keteraturan, keterbukaan visi, dan penghargaan terhadap privasi menjadi fondasi kuat dalam kehidupan sosial mereka.

Dunia politik mereka menunjukkan bahwa persaingan bisa berjalan berdampingan dengan kerja sama. Gereja juga masih turut diikutsertakan perannya di berbagai situasi negara hingga saat ini. Pemerintah negara berdiri sendiri. Namun, tetap bersuara pada isu kemanusiaan yang tak lepas kaitannya dengan konsep religiusitas. Meskipun menghadapi tantangan seperti menurunnya jumlah umat Katolik atau skandal yang mencoreng citra Gereja, ada semangat untuk terus mencari solusi dan membangun kepercayaan. Pengalaman ini mengingatkan kami bahwa di balik segala perbedaan, selalu ada nilai-nilai universal, kejujuran, kerja sama, dan tanggung jawab yang mampu menjadi jembatan antara politik, religi dan budaya.

 

Penulis Fr. Martinus Dendo Ngara, CSsR.

Mahasiswa Fakultas Teologi Wedabhakti

Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

Ikuti Berita Terbaru Kami di Detik Sumba dengan KLIK DI SINI.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Deep Learning, Konteks NTT
Opini

Istilah “Deep Learning” memiliki dua makna utama: dalam konteks teknologi, ini adalah jenis machine learning yang menggunakan jaringan saraf tiruan untuk belajar dari data.