Detiksumba.com — Sebuah ironi kelam menyelimuti dunia olahraga pelajar Manggarai Timur. Dalam ajang Kejurda Atletik tingkat provinsi yang seharusnya menjadi panggung prestasi, justru menjadi panggung pengkhianatan terhadap talenta muda. Dan yang paling disorot kali ini: SMAN 6 Kota Komba, sekolah yang gagal total menjaga amanah dan masa depan anak didiknya sendiri.
Clarita, siswi SMAN 6 Kota Komba, dikenal luas sebagai spesialis lari dengan prestasi segudang. Juara O2SN tingkat kabupaten, latihan konsisten, semangat tinggi — semua sudah ia buktikan. Namun, begitu panggung provinsi terbuka, justru pihak sekolahnya sendiri yang “menghancurkan” potensi itu dengan keheningan memalukan.
1. Kelalaian Panitia? Ya. Tapi Diamnya SMAN 6 Lebih Fatal.
Ketika panitia Kejurda dari Pemkab Matim melakukan “kesalahan input” dan tidak mendaftarkan Clarita dalam cabang lari, publik masih bisa menerima bila ada upaya klarifikasi. Tapi yang terjadi justru lebih menyakitkan: pihak SMAN 6 Kota Komba diam seribu bahasa. Tidak ada protes. Tidak ada pembelaan. Tidak ada upaya koreksi.
Sekolah yang seharusnya menjadi rumah pembina talenta justru bersikap seolah ini bukan masalah besar. Apa sebenarnya peran guru pembimbing di sana? Apakah hanya sekadar pengantar tanpa tanggung jawab?
2. Guru Pembimbing Tak Lebih dari Formalitas?
Publik mulai mempertanyakan peran guru pembimbing SMAN 6 Kota Komba yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam memastikan anak didiknya tampil di jalur yang tepat. Namun yang terjadi justru pembiaran yang nyaris membuat Clarita gagal total.
Seorang guru pembimbing memiliki tanggung jawab moral, bukan hanya administratif. Saat Clarita tidak didaftarkan di cabang lari, mengapa tak ada satu pun dari pihak sekolah yang turun tangan? Mengapa mereka membiarkan anak berprestasi dilempar ke cabang yang bukan keahliannya?
Ini bukan sekadar kelalaian administratif. Ini pengabaian terhadap masa depan anak.
3. Prestasi Clarita: Tamparan Telak untuk Sekolah yang Mengabaikannya
Meski tidak turun di cabang lari, Clarita tetap membawa pulang satu medali emas dan satu perunggu dari cabang yang bukan keahliannya. Apa artinya ini? Clarita membuktikan bahwa ia adalah atlet sejati. Tapi juga sekaligus membuktikan: sekolahnya sendiri tidak mengenali dan tidak menghargai kemampuannya.
Kalau di cabang “salah” saja dia bisa menang, apa yang terjadi bila ia tampil di tempat yang seharusnya? Medali emas itu seharusnya bisa berlipat. Nama SMAN 6 bisa harum. Tapi tidak, karena kesalahan dan kebungkaman sendiri, mereka justru mempermalukan diri mereka di hadapan publik.
4. SMAN 6 Kota Komba: Gagal Memimpin, Gagal Membina
Sekolah ini kini menghadapi krisis kepercayaan. Bagaimana masyarakat bisa menitipkan anak-anaknya untuk dibina, jika pembinaan hanya sebatas seremonial? Jika guru hanya menjalankan tugas formal tanpa empati? Jika tanggung jawab atas nama “pembimbing” tidak diwujudkan dalam tindakan nyata?
SMAN 6 Kota Komba tak bisa terus berlindung di balik alasan “kesalahan panitia”. Diamnya mereka adalah bentuk kegagalan institusional.
5. Desakan Evaluasi: Masyarakat Menuntut Pertanggungjawaban!
Masyarakat kini tidak lagi sekadar kecewa — mereka marah. Desakan untuk mengevaluasi kinerja guru pembimbing dan kepala sekolah SMAN 6 Kota Komba semakin kuat. Ini bukan soal satu nama. Ini soal sistem pendidikan yang dengan mudah mengabaikan potensi dan semangat anak muda.
Jika sekolah tidak mampu menjaga dan memperjuangkan anak-anak berbakatnya, maka mereka telah kehilangan hak moral untuk menyebut diri sebagai institusi pendidikan.
Jangan Biarkan Clarita Lainnya Menjadi Korban
Clarita hanyalah satu dari ratusan anak muda berbakat di Matim. Jika sistem pendidikan dan keolahragaan tetap seamburadul ini, maka akan lebih banyak Clarita-clarita lain yang dipatahkan semangatnya oleh orang-orang dewasa yang gagal menjalankan peran.
SMAN 6 Kota Komba harus bertanggung jawab. Evaluasi menyeluruh bukan hanya perlu, tapi wajib.Jika tidak, maka sekolah ini bukan tempat pembinaan — melainkan penguburan potensi.
Wartawan Detiksumba.com akan terus mengawal kasus ini dan menghadirkan suara mereka yang selama ini dibungkam oleh kelalaian institusi pendidikan.***
Ikuti Berita Terbaru Kami di Detik Sumba dengan KLIK DI SINI. |