Opini

Wartawan: Bekerja Dalam Sunyi, Berkarya Tanpa Henti

×

Wartawan: Bekerja Dalam Sunyi, Berkarya Tanpa Henti

Sebarkan artikel ini
Wartawan: Bekerja Dalam Sunyi, Berkarya Tanpa Henti(Detiksumba/Ril Minggu)

DETIK SUMBA – Di balik setiap berita yang kita baca, sering ada sosok yang jarang dihitung: wartawan yang bekerja dengan apa adanya. Banyak dari mereka tidak tampil dengan seragam rapi atau fasilitas lengkap, melainkan dengan modal semangat, catatan lusuh, dan kamera seadanya. Tidak sedikit yang berangkat meliput hanya bermodal motor tua, sinyal pas-pasan, dan dompet yang kadang lebih tipis dari kertas tugas liputannya.

Walau profesi ini kerap dipandang sebelah mata, sekadar penanya, pencatat, atau pengganggu kenyamanan kenyataannya wartawan sering berdiri di garis paling depan. Mereka menghadapi risiko ancaman dari pihak yang tersinggung, tekanan dari kekuasaan, bahkan ketidakpastian penghasilan. Tetapi mereka tetap berjalan, bukan karena ruang redaksi mewah atau gaji besar, melainkan karena keyakinan bahwa fakta harus sampai ke publik.

Baca Juga:  Jalan Berlubang Di Matim, Nurani Andreas Agas Yang Kosong

Kesederhanaan yang Justru Menguatkan

Seorang wartawan terbiasa bekerja dalam keterbatasan. Mereka tidak selalu punya waktu atau tenaga berlebih, tapi justru dari situ muncul kecermatan. Dengan perangkat seadanya, mereka menangkap detail yang orang lain lewatkan: suara warga yang tak pernah ditanyai, sudut jalan yang tak pernah dilihat, atau peristiwa kecil yang menyimpan makna besar.

Di tengah segala tekanan, wartawan terbiasa memilih diksi sederhana. Bagi mereka, tulisan bukan arena untuk pamer kosa kata, tapi jembatan agar pembaca paham. Mereka menulis dengan bahasa yang membumi: jelas, jernih, dan langsung ke inti persoalan. Kalimatnya bisa pendek, tapi maknanya panjang. Sederhana, tapi menggerakkan.

Baca Juga:  Tragisnya Rezim Penguasa di Suriah Yang Dramatik Bersama Keluarga di Tempat Pelariannya

Kasus Biasa Menjadi Luar Biasa

Yang membuat wartawan berbeda adalah kemampuannya melihat keistimewaan dari hal yang tampak biasa. Sebuah banjir kecil di kampung, misalnya, bisa jadi pintu masuk membahas tata kota, kebijakan, atau nasib warga yang tak pernah didengar. Sebuah keluhan di pojok pasar bisa menjadi skandal jika diungkap dengan sudut pandang yang tajam.

Fakta yang tampak sepele, ketika disentuh wartawan yang peka, berubah menjadi cermin realitas. Mereka memahami bahwa yang luar biasa bukan selalu kejadian besar, melainkan cara mengangkatnya agar menyentuh nalar dan rasa pembaca.

Baca Juga:  71 Tahun GMNI: Api Perjuangan yang Tak Pernah Padam di Bumi Marapu

Tetap Berdiri, Meski Tak Selalu Terlihat

Kerja jurnalistik bukan hanya soal melaporkan, tapi merawat nalar publik. Wartawan sering berada di antara idealisme dan kebutuhan hidup. Di satu sisi, mereka menjaga integritas. Di sisi lain, mereka bergulat dengan penghasilan yang tidak menentu. Namun, dari dinamika itu lahir keteguhan: bahwa kebenaran tetap harus dicatat, meski tangan yang menulisnya gemetar.

Mereka mungkin tidak selalu disanjung, bahkan kadang disalahpahami. Tapi setiap kali berita mereka membuat orang sadar, mencegah ketidakadilan, atau mengubah kebijakan, di situ letak upah yang tak bisa dihitung dengan angka.***

Ikuti Berita Terbaru Kami di Detik Sumba dengan KLIK DI SINI.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Deep Learning, Konteks NTT
Opini

Istilah “Deep Learning” memiliki dua makna utama: dalam konteks teknologi, ini adalah jenis machine learning yang menggunakan jaringan saraf tiruan untuk belajar dari data.