Dia menyuruh saya membalas pesan dari salah satu jurnalis itu berdasarkan
rumusan jawaban yang disusunnya.
Dia berkata, “jawab saja kalau kamu aman dan kamu diamankan karena tidak
membawa kartu identitas.”
Dia juga menyuruh saya menjawab pesan itu dengan mengatakan, “saya lagi
ganda [ngobrol] dengan polisi. Sebentar saya pulang.”
Saya membalas pesan itu dalam keadaan ponsel saya masih dipegang polisi
itu. Dia hanya menyuruh saya mengetik jawaban.
Mereka juga memeriksa beberapa foto di dalam ponsel saya. Mereka menanyakan identitas beberapa orang yang di dalam foto itu serta menanyakan tempat foto itu diambil.
Mereka juga memeriksa beberapa foto yang menampilkan tiket perjalanan saya
ke Jakarta. Mereka juga menanyakan tujuan saya pergi ke Jakarta.
Setelah memeriksa dan membaca pesan saya, polisi itu keluar dari mobil.
Beberapa saat kemudian, dia kembali masuk ke mobil itu dan kembali menanyakan kartu pers saya.
Saya sekali lagi menjawab “saya memang tidak membawa kartu pers, tetapi
saya bisa menunjukkan surat tugas saya serta membuktikan kalau saya
benar-benar merupakan Pemimpin Redaksi Floresa.”
Saya meminta izin kepadanya untuk memeriksa berkas surat tugas saya di
ponsel.
Lantaran berkat surat tugas itu telah dipindahkan ke dalam laptop,
saya lalu meminta izin membuka laptop seraya meminta dia membuka web
Floresa via ponsel untuk memeriksa dan memastikan status saya sebagai
jurnalis sekaligus Pemimpin Redaksi Floresa.
Saat menunjukkan kepada salah satu polisi berkas surat tugas saya di laptop,
dia mengecek sembari berkata “surat tugas ini hanya berlaku selama tiga bulan setelah diterbitkan pada September tahun lalu.”
Saya menjawab “ini surat tugas yang diterbitkan Pemimpin Redaksi Floresa
periode sebelumnya saat saya berstatus sebagai kontributor.
Setelah masa berlakunya habis, saya tidak mempunyai surat tugas baru karena saya
dipercayakan menjadi Pemimpin Redaksi Floresa. “Karena menjadi pemimpin redaksi, saya mempunyai kewenangan untuk
membuat surat tugas bagi jurnalis Floresa yang lain.”
Untuk meyakinkan polisi itu, saya menunjukkan surat tugas yang saya
berikan kepada jurnalis Floresa yang lain.
Di dalam surat itu, terdapat tanda
tangan saya sebagai pemimpin redaksi.
Polisi itu memeriksa dan membuka beberapa berkas di dalamnya termasuk
foto dan rekaman wawancara saya dengan narasumber.
Setelah melihat foto dan mendengar rekaman wawancara saya, polisi itu
berkata, “kraeng [Anda] kerja macam intel.”
Merespons hal itu, saya berkata, “saya jurnalis, bukan intel.”
Polisi itu berkata, “saya akui kraeng seorang penulis karena kraeng sangat
hati-hati memilih kata.”
Saya menduga polisi itu sebetulnya tahu bahwa saya merupakan jurnalis
Floresa karena ia berkata, “saya tahu beberapa tulisan kraeng tentang proyek
geotermal.”
Dia juga bertanya, “apa saja yang kraeng tulis tentang proyek geotermal di
Poco Leok?”
Saya menjawab, “salah satu tulisan saya adalah wawancara khusus dengan
seorang mama dari Poco Leok. Ite [Anda] bisa cek di web Floresa.”
Saya juga meminta polisi yang menyita ponsel saya untuk membuka web
Floresa.
Dia menuruti permintaan itu dan menemukan bahwa “kraeng benar-benar
merupakan Pemimpin Redaksi Floresa.”
Mendapati informasi itu, dia lalu membuat tangkapan layar atas identitas dan
status saya yang tertera di web Floresa.
Setelah mendengar penjelasan dan melihat bukti yang saya tunjukkan, kedua
polisi itu berkata, “kalau dari tadi dapat penjelasan seperti ini, kraeng tidak
akan ditahan.
Ternyata kraeng memang Pemimpin Redaksi Floresa.”
“Kami akan kena nanti kalau kraeng beri klarifikasi di Polres,” katanya, tanpa
menjelaskan maksud pernyataan itu.
Merespons pernyataan itu, saya berkata, “saya dari tadi berusaha menjelaskan
hal ini, tetapi kalian terus memotong pembicaraan saya. Kalian justru
memukul saya.”
Mendengar hal itu, polisi yang menyita ponsel saya keluar dari mobil dan
berkoordinasi dengan polisi lainnya.
Beberapa saat kemudian, dia kembali ke mobil itu dan menawarkan dua
langkah untuk melepaskan saya.
Dia berkata, “sebentar tiga orang warga yang diamankan akan dilepaskan.
Mereka akan membuat video klarifikasi dan permohonan maaf karena
merusakkan mobil polisi.
Apakah kraeng juga mau seperti itu? Ataukah kraeng mau klarifikasi di Polres?”
Merespons pertanyaan itu, saya berkata, “saya pikir-pikir dulu.”
Mendengar jawaban itu, polisi tersebut keluar lagi dari mobil dan
berkoordinasi dengan polisi lainnya.
Beberapa saat kemudian, polisi itu kembali masuk ke mobil dan menawarkan
hal yang sama.
Dengan mempertimbangkan segala konsekuensi, saya pun memilih untuk
langsung memberikan klarifikasi di lokasi itu.
Polisi itu berkata, “nanti kami akan rekam klasifikasinya kraeng. Nanti omong
saja kalau kraeng diamankan karena tidak membawa kartu identitas. Terus
nanti kraeng juga omong kalau kraeng sudah dilepaskan dalam keadaan
selamat.”
Saya pun menyetujui permintaan itu, lalu polisi itu mengizinkan saya keluar
dari mobil dan memberikan tas saya, sementara ponsel saya masih disita.
Saya memberi klarifikasi di belakang mobil itu dan direkam oleh dua orang
polisi, yang salah satunya ikut mengintimidasi dan memukul saya.
Dalam klarifikasi itu, saya sempat mengatakan “saya ditahan karena tidak
membawa kartu identitas.”
Mendengar itu, mereka meminta saya untuk mengganti kata “ditahan” dengan
“diamankan.”
Mereka juga mengarahkan saya untuk mengatakan “setelah melakukan
klarifikasi dengan polisi, saya dilepaskan dalam keadaan selamat.”
Tetapi, saya hanya mengatakan “setelah melakukan klarifikasi dengan polisi,
saya dilepaskan.”
Saya tidak mungkin mengatakan “dilepaskan dengan selamat” karena
sebelumnya saya dipukuli aparat dan wartawan.
Setelah itu, mereka mengizinkan saya pulang, tetapi ponsel saya masih disita
polisi.
Beberapa saat kemudian, saya kembali dan menemui polisi yang sejak
penahanan menemani saya di dalam mobil. Polisi itu yang kemudian meminta
untuk mengembalikan ponsel saya.
Saya mulai ditangkap aparat keamanan sekitar pukul 14.37 dan baru
dilepaskan pukul 18.00 Wita.
Selama saya berada di dalam, polisi keluar-masuk meminta ID card dan
tawaran langkah untuk melepaskan saya.***